Mahasiswa Baru STAI Asy-Syukriyah "Tamasya" di Pesantren Multazam


Bogor
- Sebanyak 113 mahasiswa baru SekolahTinggi Agama Islam Asy-Syukriyyah Tangerang melakukan "tamasya" di Pesantren Multazam Bogor 25/10/11. Tamasya adalah kepanjangan dari "Ta'aruf Mahasiswa Asy-Syukriyah" suatu acara yang menyerupai ospek (orientasi pengenalan kampus) bagi mahasiswa baru.

Acara yang berlansung dua hari itu dikuti mahasiswa dengan antusias. Sejak pembukaan, pemaparan materi, outbond hingga fun game dan penutupan pun diikuti dengan semangat. Yang menarik adalah, kedatangan mereka bersamaan dengan musim panen buah rambutan, sehingga pihak pesantren mempersilakan mahasiswa memetik sendiri dari pohonnya. Panitia pun menggunakan kesempatan ini dengan membuat acara lomba memetik rambutan.

Para mahasiswa terkesan dengan suasana desa yang masih alami, terutama saat jalan menuruni sawah, mendakt bukit, dan melihat telaga.

Pesantren Multazam Mendapat Izin Pendirian Diniyah Takmiliyah Dari Kementerian Agama

Bogor - Pesantren Multazam yang berlokasi di Kampung Parigi Desa Sukamulya Rumpin-Bogr telah mendapat izin pendirian Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) dari kementerian Agama. Hal itu tercermin dengan telah dikeluarkannya SK Kementerian Agama Kantor Kabupaten Bogor No. Kd.0101/5/PP.00.8/678/2011 tertanggal 24 Juni 2011 tentang status Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah Multazam yang terdaftar di kementerian tersebut. Dan terdaftar dengan Nomor Statistik Diniyah Takmilyah Awaliyah (NSDT) 311232011071.

Dengan telah dikeluarkannya SK tersebut menjadikan Multazam sebagai Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah yang resmi. Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah adalah sebuah sekolah atau madrasah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik SD dan SMP untuk mendalami ilmu agama secara formal di luar jam sekolah umum. Sesuai perda Kabupaten Bogor tentang madarsah ini yang mewajibkan pelajar SMP mampu baca tulis al-quran, maka madrasah diniyah ditetapkan sebagai lembaga formal untuk siswa SD belajar baca tulis al-quran, sehingga saat masuk ke jenjang SMP mereka sudah memenuhi syarat mampu membaca al-quran.

Pondok Pesantren: sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Oleh: KH. Muhammad Jamhuri, Lc. MA.

Pendahuluan

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.

Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga -paling tidak- mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.

Pondok pesantren Dahulu

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.

Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.

Pesantren Kini

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.

Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

Pembaharuan di Bidang Furu’

Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya, beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang dilakukan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan) mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan mubtada dan khobar. Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag atau Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada Gontor dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling tidak beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi. Sehingga bobot Gontornya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini membantu para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena adanya ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok Pesantren Daarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang pada umumnya.

Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan

Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.

Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Ha lini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.

Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi acuan, bukan formalitas.

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

Pendidikan Islam Alternatif

Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok pesantren. Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.

Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.

Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah, Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya, pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.

Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya dengan ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.

Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?. Belum tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua dasawarsa ke depan.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik melaui cara halus maupun kasar.

Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat, melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.

Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam

Kemerdekaan Ekonomi vs Prinsip Ekonomi Syariah

Oleh: Any Setianingrum MESy

66 tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk meraih kesuksesan ekonomi sebuah negara. Malaysia, negara Islam modern dan dinamis, yang usia kemerdekaannya lebih muda 12 tahun dari Indonesia telah mencanangkan menjadi negara maju pada tahun 2020. Rasulullah SAW beserta sahabatnya dalam waktu singkat sukses merubah perekonomian kota Madinah menjadi perekonomian yang penuh keadilan dan sejahtera. Bagaimana wajah 66 tahun kemerdekaan ekonomi Indonesia?

Tahun 2011 penguasaan/kepemilikan asing kurang lebih pada sektor pertambangan mencapai 75%, sektor perbankan 47,02%, industri telekomunikasi 24-95%. Fakta lain yang sungguh ironis adalah, ada sebuah perusahaan asal Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit di Indonesia, sementara luas negara Singapura sendiri kurang dari 70 ribu hektar (Sumber Kompas, 25 Mei 2011). Kebutuhan pokok pangan seperti beras, kedelai, gula, daging sapi garam masih pula diperoleh dengan cara mengimpor. Cicilan hutang pokok plus bunga yang dibayar dalam 6 tahun terakhir adalah 877,633 triliun (SD-IGJ, 2010), lebih besar dari APBN 2007 dan melebihi seluruh pendapatan dari pajak setahun.

Biaya, waktu dan energi untuk merintis mengurangi ketergantungan pada asing, serta resistensi dari sebagian kecil pihak yang diuntungkan dari kegiatan impor/kepemilikan asing, tentulah tidak seberapa besar dibanding dengan manfaat dan keberkahan yang diperoleh dalam jangka panjang jika pemenuhan kebutuhan tersebut bisa diproduksi sendiri. Produk-produk/kepemilikan lokal selain akan memberi efek penciptaan lapangan kerja bagi 8,12 juta orang pengangguran (BPS, 2011), juga memberikan manfaat lain bagi kedaulatan dan martabat bangsa. Adapun adanya kenyataan lebih murah, lebih praktis dan lebih mudah pada produk impor/kepemilikan asing janganlah mengecoh Indonesia untuk terus bertahan menjadi sasaran empuk produk/kepemilikan asing, sebab hal itu tidak akan berhasil memenuhi substansi kebutuhan sebuah negara berdaulat.

Negara akan mudah terjebak dalam berbagai musibah ekonomi jika produk/kepemilikan asing telah mendominasi. Diantara musibah ekonomi adalah melemahnya basis-basis produksi dan produktifitas sektor riil sehingga pembangunan ekonomi memiliki kualitas yang rendah karena mengandalkan sektor konsumsi yang sebagian besar merupakan produk asing. Musibah serius lainnya adalah besarnya kerusakan lingkungan, bagaimanapun pihak asing yang menguasai hutan dan perkebunan Indonesia tidak akan sepenuhnya memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan negara lain, apalagi memikirkan kepentingan generasi penerus negara orang. Musibah memilukan lainnya adalah beban berat yang harus dipikul jutaan warung-warung kecil dan para pedagang di pasar-pasar tradisional di seluruh pelosok tanah air akibat menjamurnya hypermarket dan supermarket yang mayoritas di dalamnya terdapat kepemilikan asing.

Akibat lilitan utang, Indonesia menjadi sangat mudah jatuh dalam tekanan asing, khususnya dalam penyusunan UU dan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Melalui UU dan kebijakan yang telah tertawan itulah intervensi asing sangat mudah masuk.

Sistem ekonomi neoliberalis yang mengedepankan perdagangan bebas, spekulasi valas, pasar dan komoditas serta privatisasi layanan masyarakat memberikan kontribusi besar kepada wajah perekonomian Indonesia dan dunia hingga menjadi seperti saat ini. Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 Krisis ekonomi di negara-negara kapitalisme dan para pengikut setianya (Davies, 1996).

Berikut ini akan diuraikan secara singkat, pengaturan perekonomian negara dalam perspektif prinsip ekonomi syariah yang bisa menjadi hikmah. Indikator kesuksesan perekonomian sebuah negara dalam Islam tidak hanya ditentukan oleh pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik saja, namun juga ditentukan oleh ada/tidaknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat, dan keadaan keimanan penduduknya yang tercermin pada keadaan moral, etika dan performa sektor sosial atau ketaatan penduduk dalam membayar ZIS.

Kebijakan dasar perekonomian negara adalah melalui mekanisme zakat dan pelarangan riba. Dalam perspektif Islam, jika semua kegiatan usaha dipaksa mengikuti laju suku bunga maka akan terjadi ekploitasi peserta ekonomi yang lemah oleh peserta yang lebih kuat yang akan menyuburkan spekulasi, inflasi dan menumpuknya harta pada sekelompok orang. Karena itulah sistem ekonomi negara harus selalu mengintegrasikan sektor moneter dengan sektor riil sebagai konsekuensi dilarangnya riba, gharar (ketidakjelasan) dan spekulasi.

Kebijakan pemerintah secara umum dalam perekonomian Islam adalah mengoptimalisasi sektor sosial dan institusi penunjang pasar. Perekonomian Islam sangat mendukung kegiatan bisnis/perdagangan, mengedepankan produktivitas dalam pertumbuhan sektor riil yang berbasis halal-haram dan manfaat-mudarat dengan basis transaksi jual beli, sewa menyewa dan bagi hasil. Optimalisasi institusi pasar akan menghidupkan basis-basis produksi, meningkatkan produktifitas, menekan inflasi, membuka lapangan kerja, menekan kemiskinan dan menjadikan produk asing hanya sebagai mitra/pelengkap saja. Optimalisasi sektor sosial akan memberikan rasa tentram dan aman kepada rakyat.

Terkait sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam sebuah negara, Rasulullah Saw bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR Ibnu Majah). Jadi penguasaan sumber daya alam oleh kelompok saja tidak diperbolehkan apalagi oleh kelompok asing yang manfaat terbesarnya tidak jatuh ke tangan rakyat.

Dengan mekanisme yang konsisten tersebut selama pemerintahan Islam berjaya tidak ditemukan adanya krisis ekonomi yang serius dan terjadi berulang. Prinsip ekonomi Islam terbukti pula sangat mendukung nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia terkait penegakkan nilai amanah untuk mengoptimalkan terlebih dulu segala sumber daya terdekat yang telah dikaruniakan Allah Swt. Adam Smith (1776), yang dianggap sebagai bapaknya ekonomi kapitalis, menganggap bahwa contoh terbaik masyarakat berperadaban tinggi yang kuat secara ekonomi dan politik adalah masyarakat Arab (Madinah) di bawah pimpinan Muhammad.

Para pendiri bangsa ini mungkin tidak pernah menduga di usia 66 tahun kemerdekaan, Indonesia belum sepenuhnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang ekonomi, jumlah orang miskin mencapai 30,02 juta orang (BPS, Maret, 2011) dan maraknya kasus KKN dan kiriminalitas. Namun tak ada kata terlambat, Rasulullah SAW, para sahabat dan masyarakat Madinah telah memberi inspirasi yang gemilang. Mereka berhasil membenahi perekonomian Madinah yang telah ratusan tahun dikuasai riba, ketidakadilan dan carut marutnya perilaku masyarakat menjadi kota dengan peradaban tinggi yang diakui dunia sepanjang masa.

Penulis adalah akademisi dan pemerhati ekonomi syariah (sumber: Republika)