Semalam, saya ajak santri untuk menyaksikan film kisah Nabi
Ibrahim as, tepat di hari kedua hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Saya
punya prinsip, "al-Farogh Mafadah" Kekosongan (tanpa kegiatan) adalah
kerusakan. Maka dari pada malam libur dan tak ada kegiatan, sedangkan pelarajan
pun belum dimulai, maka saya putar film tersebut. Saya terjun langsung memberi
ulasan dalam setiap adegan film tersebut, karena kapasitas pengetahuan sejarah
para santri berbeda-beda. Bahkan boleh jadi, sebagian orang dewasa pun tidak
mengenal sebagian adegan itu.
Durasi kisah tentang raja Namrudz saya lewati. Selain karena
panjang, juga tidak ada relevansinya dengan sejarah qurban yang ingin
diketengahkan. Maklum, durasi utuhnya panjang sekitar 1 jam 49 menit. Kalau
diputar semua, santri bisa-bisa tidur jam setengah sebelas malam. Saya putar
mulai di menit ke 50. Langsung dari raja Namrudz yang sedang menunjukkan
kehebatannya bisa menghidupkan dan mematikan laksana Tuhan di depan nabi
Ibarhim, dengan cara membebaskan seorang yang di penjara dan membunuh yang
lainnya. Lalu dengan congkaknya Namrudz berkata, "Ibrahim, lihatlah aku
pun mampu menghidupkan dan mematikan manusia". Ibrahim cuma menjawab,
"Tuhanku mendatangkan matahari dari Timur". Coba kau datangkan dari
barat. Namrudz cuma bisa marah, lalu mengusir Ibrahim dari negeri Babilonia,
negeri yang dipimpinnya. Ibrohim migrasi ke Yuressalem.
Raja zhalim itu pun mati hanya oleh seekor nyamuk kecil
Kisah yang lebih tepat untuk pelajaran bagi para santri,
bahkan untuk wali santri bukan di situ, tapi kisah diperintahnya nabi Ibrahim
untuk meletakkan istri dan puteranya ke sebuah lembah gersang dan tak ada
pepohonan. Siti Hajar sempat bingung akan ditinggal berdua saja di sana. Tapi
kemudian ia yakin akan dijamin hidupnya karena sedang melaksanakan perintah
dari Allah. Ibrahim as pun bukan tidak yakin, tapi sebagai manusia ia merasa
kasihan pada putera yang dikasihinya di tempat yang sepi, gersang, tak ada
sumber air, apalagi pepohonan. Nah di titik inilah saya memberi ulasan.
"Coba kalian pikirkan -ujar saya pada para santri- Nabi Ismail yang masih
kecil ditinggal di tempat yang kondisinya seperti itu, bahkan kelaparan dan
kehausan. Toh jika kita yakin kepada Allah swt, Allah tidak akan
menyia-nyiakan." Allah kasih air zamzam, yang pada waktu berikutnya, Suku
Jurhum yang melewati daerah situ pun ikut menetap, hingga Ibrohim as saat
mengunjungi anak-istreinya setelah puluhan tahun ditinggal di Makkah terlihat
ramai penduduknya
"Sedangkan kalian diletakkan orang tua kalian di sebuah
pesantren, yang masih tersedia makanan dan minuman, tempat istirahat yang
layak, bahkan bertemu banyak teman, apakah masih merasa tidak
nyaman?" Percayalah kalian harus
bersabar sebagaimana bersabarnya Ismail dan Siti Hajar saat
"dipesantrenkan" di tempat yang sepi, gersang, panas, dan tak ada
seorang pun di sana.
Bagi orang tua wali santri, kisah ini pun hendaknya menjadi
pelajaran, bahwa saat kita ikhlas menjalani hidup untuk meraih ridho Allah,
Allah akan menjamin rezekinya. Bahkan rezeki yang Allah berikan kepada Ismail
as dan Siti Hajar berupa air zamzam kini melimpah dan dapat dinikmati oleh umat
Islam dari seluruh dunia sepanjang zaman.
Terus terang, saat saya mulai membangun pesantren di tempat
terpecil ini pun, termotivasi oleh kisah ini. Jadi, kisah-kisah dari al-Quran
itu sebenarnya bukan kisah dongeng. Tapi kisah nyata dan harus memberi motivasi
dalam hidup kita.
Secara ilmu ekonomi, sebenarnya saya tidak menerapkan teori
pemasaran dalam ilmu ekonomi. Dalam teori pemasaran, yang harus diperhatikan
dalam membuka "usaha" adalah 4P (Place, Promotion Price dan Product).
P pertama jelas tidak memenuhi syarat. Jangankan lokasi strategis, untuk
mencapai tempat ini saja jalannya rusak dan jelek serta di jalan yang buntu.
Wajar jika saat tahun pertama pembukaan pesantren hanya ada 13 santri saat itu.
Orang tua harus yakin, bahwa
memondokkan anak, sebenarnya sedang mengirim mujahid/pejuang. Dan
seorang mujahid/pejuang di jalan Allah, maka Allah lah yang akan menjamin
rezekinya. Sikap iman yang dalam ini yang harus terpatri dalam jiwa setiap
mukmin.
Akhirnya kisah nabi Ibrahim pun ditutup dengan ujian harus
menyembelih puteranya bernama Ismail as itu. Ini pun terasa begitu berat bagi
orang tua. Apalagi anaknya sholeh, patuh, taat dan bagus rupawan. Ayah mana
yang tega akan menyembelih darah dagingnya sendiri? Apalagi diiming-iming Iblis
bahwa Ibrahim sebaiknya meninggalkan
Tuhannya, dan coba menjadikan Iblis sebagai Tuhan barunya, niscaya Ibrahim
tidak akan dipermalukan ketokohannya hanya karena mengiluti perintah Tuhannya
untuk membunuh anaknya.
Namun semua godaan dan iming-iming itu dienyahkannya demi
melaksanakan perintah Allah swt. Dari situlah Allah swt menjadikannya sebagai
pemimpin bagi umat manusia. Karena pemimpin sesungguhnya adalah pemimpin yang
telah melewati berbagai ujian dengan baik. Bukan pemimpin yang dihiasi dan
dipoles dengan pencitraan yang semu.
Allah swt berfirman:
وَإِذْ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ
بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia". (QS. Al-BAqarah: 123)