Ada pula pesantren menerima hampir 1000 calon santri
baru, padahal kapasitas untuk menerima calon santri baru hanya 300 orang.
Sehingga pada saat diselenggarakan tes masuk santri baru, pesantren ini tidak
bisa menampung calon santri baru itu, sampai-sampai untuk mengadakan tes masuk,
pesantren tersebut menyewa beberapa ruang convention PUSPIPTEK milik BPPT di
kawasan Serpong, Banten.
Kenyataan ini bukan hanya terjadi di daerah jabotabek,
di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Pulau Jawa saja, namun terjadi pula di
beberapa daerah di luar Jawa. Bahkan beberapa pesantren dengan spp yang tinggi pun tetap banyak diminati oleh masyarakat.
Fenomena ini terjadi banyak faktor. Secara internal,
pesantren kini banyak berbenah diri. Pesantren kini bukan hanya mengajarkan
ilmu agama, namun juga memadukan antara ilmu agama dengan sains. Bahkan
memadukan antara ilmu agama dengan kewirausahaan (ekonomi). Itulah sebabnya
banyak pesantren menggunakan kata “TERPADU” karena memadukan ilmu agama dengan
keterampilan (life skill) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu,
pesantren juga telah bergeser kepada model modern. Sehingga, pesantren tidak
lagi dikesankan dengan situasi kumuh, kotor, dan terbelakang. Di samping itu,
secara manajerial pesantren pun tidak kalah dengan sekolah-sekolah elit lainnya.
Bobot pengetahuan sains dan agama diberikan secara seimbang sehingga tidak ada
dikotomi antara ilmu agama dan sains. Oleh sebab itu banyak anak pesantren
menjadi duta dalam pertukaran pelajar antar negara serta menjuarai berbagai olimpiade
di tingkat internasional.
Secara eksternal, sekolah-sekolah umum telah “gagal”
membangun karakter siswa yang berbudi pekerti mulia. Faktor inilah yang membuat
masyarakat kini kurang memberi kepercayaan kepada sekolah-sekolah umum, baik
swasta maupun negeri. Bahkan beberapa sekolah negeri di beberapa daerah kini
“kurang laku”, hingga ada pemerintah daerah yang mengeluarkan surat edaran atau
perda, bahwa anak daerah harus bersekolah di sekolah yang berada di daerahnya
karena kekhawatiran sekolah-sekolah daerah tersebut akan kekurangan murid.
Banyaknya siswa yang terlibat kasus-kasus asusila,
narkoba, kriminal, tauran bahkan pergaulan bebas di lingkungan sekolah
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sekolah umum tidak lagi memberikan rasa aman
kepada siswanya. Kenyataan inilah yang membuat masyarakat mulai melirik
psantren. Belum lagi kebijakan pemerintah yang gonta-ganti kurikulum setiap
pergantian rezim kekuasaan. Berbeda dengan pesantren, yang sebagian kitab atau
buku klasiknya masih eksis menggunakan buku tersebut dan selalu aktual,
sehingga jika ada seorang adik yang masuk pesantren, dia masih dapat
menggunakan buku kakaknya yang juga dari pesantren. Coba bayangkan dengan buku
umum, setiap tahunnya terus berganti tergantung “lobi” penerbit dan bongkar
pasang kurikulum oleh pemerintah. Faktor-faktor inilah, sekali lagi, yang
menyebabkan model pendidikan pesantren sangat diminati.
Faktor lain adalah jiwa kehidupan pesantren yang
dibingkai dengan panca jiwa pesantren, yaitu keikhlasan, ketaatan, kesederhanaan,
kemandirian, dan ukhuwah yang diamalkan dalam kehidupan pesantren selama 24 jam
sehari. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali, terutama pada usia remaja akan
menjadi karakter santri. Ada faktor lain yang mungkin tidak dimiliki oleh
sekolah umum. Yaitu dalam masyarakat industri yang serba sibuk, dimana
terkadang suami dan isteri sibuk bekerja di luar, maka pilihan tepat untuk
“menitipkan” anaknya adalah pesantren. Karena di pesantren, anak dididik dan
diawasi selama 24 jam. Sedangkan di sekolah umum, keberadaaan mereka hanya 5-7
jam di dalam suasana pendidikan. Di luar itu, anak di luar pengawasan orang tua
dan guru. Sehingga tidak aneh jika anak berada di mall bahkan di dalam jam
pelajaran sekalipun.
Muhammad Jamhuri
Pengasuh Pesantren Terpadu Ekonomi Islam MULTAZAM
Jum’at, 27 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar