Oleh: Muhammad Jamhuri
Suatu kali, saya pernah
bertemu dengan salah kepala madrasah yang berada dalam naungan suatu pesantren dalam
suatu urusan akreditasi madrasah. Sekolah yang dia pimpin sudah lama berdiri.
Karena nama sekolahnya pernah saya dengar bahkan sebelum saya menempuh kuliah
dahulu. Setelah berkenalan, saya bertanya, “Ustadz, madrasahnya sudah berapa
kali diakreditasi?”, “kalau madrasah saya baru kali ini, karena baru berdir
empat tahun lalu.” Tambah saya. Ustadz itu menjawab, “Baru pertama kali juga, ya
sekarang ini”. Saya agak heran dan bertanya, “Ustadz, bukankah sekolah ustadz
ini sudah lama beridiri? Kok, baru pertama ini diakreditasi?” Dia menjawab, “Sebenarnya
sudah berkali-kali diakreditasi, namun sebagai madrasah, baru kali pertama ini
diproses akreditasi.” Saya tambah heran lagi. Lalu Dia menjelaskan. “Dulu
sekolah kami adalah SMP yang berada dibawah binaan kemendiknas, nah saat
statusnya SMP, sekolah kami sudah lama berdiri dan sudah diakreditasi
berkali-kali. Namun sekarang kami ubah
menjadi MTs (Madrsah Tsanawiyah). Oleh sebab itu, baru kali ini akreditasinya
diproses.”
Saya tambah merasa
heran, karena bukankah banyak orang dan wali murid yang gandrung kepada SMP
dari pada MTs? Mereka lebih bangga memasukkan anaknya ke SMP daripada MTs
(madarsah)?. Teman saya itu menjelaskan, “Setelah kami jalani, ternyata status
sekolah juga membentuk karakter anak. Nama SMP membentuk karakter dan sikap
anak, dari sebutannya saja mereka disebut “anak SMP”. Berbeda saat sekolah kami
diubah menjadi madrasah, sebutan untuk mereka sekarang adalah “anak madrasah”.
Tanpa menjelaskan lebih rinci, saya sudah mafhum maksud dari penjelasannya.
Kabarnya SMA yang ada di pesantren teman saya itu sedang proses embrio menjadi
MA (Madrasah Aliyah).
Anda mungkin bisa tidak
setuju dengan kesimpulan di atas. Bukankah tergantung kyai, atau kepala sekolah
dan gurunya dalam membentuk karakter anak dari pada sekedar nama Sekolah atau
Madrasah? Tapi itulah fenomena yang dialami pesantren teman saya itu. Dia
me-reformasi “Sekolah” menjadi “Madrasah” karena menurut pengasuhnya hal itu
penting.
Dalam suatu kunjungan
ke sebuah lembaga sosial (Charity), saya bertemu dengan salah seorang pimpinan
lembaga Charity yang banyak berkeliling ke pesantren-pesantren dalam misi
memberi bantuan dan kerja-sama. Dalam diskusi ringan, dia bercerita, bahwa kini
sering ditemukan guru-guru (asatidz) di sebagian pesantren mengeluh kepada
beliau. Pasalnya, bayaran atau spp yang dikenakan kepada santri begitu tinggi
(baca: mahal), namun kesejahteraan yang diterima asatidz tidak sebanding dengan
spp tersebut. Lebih ironi lagi, kepuasan batin pun tidak didapatkan oleh para
asatidz tersebut. Pasalnya, anak-anak santri dirasa kurang menghormati
asatidz-nya. Mungkin –menurut teman saya itu- si santri menyikapi guru seperti
orang gajian yang diberi gaji oleh orang tua mereka. Mereka juga tidak mendapatkan
asupan tentang pentingnya menghormati guru.
Dua kenyataan di atas itulah
yang mendorong saya membuat tulisan ini.
Adakah Perbedaan Antara Pesantren dan
Boarding School?
Seringkali “pondok
pesantren” diartikan dalam bahasa inggris dengan “Boarding School”, atau dalam
bahasa Arabnya “Ma’had Islamy”. Untuk sementara memang kata itulah yang cocok
untuk terjemah kata “pondok pesantren”. Namun kata “pesantren’ dalam kontek
ke-Indonesiaan memiliki ciri khas yang unik dari sekedar “Boarding School” dan “Ma’had
Islamy”.
Namun dengan dua alasan
fenomena di atas, saya dapat bedakan antara pesantren dan boarding school.
Perbedaan ini ada jika memang yang akan saya sebutkan itu ada. Namun jika tidak
ada, maka antara pesantren dan boarding school itu sama saja.
.
1. Ditinjau dari pendirian
Pesantren lebih sering dibangun dari
modal nol, lalu sedikit demi sedikit membangun satu kobong atau satu ruang,
kemudian berkembang hingga memiliki banyak gedung dan ruang. Sedangkan boarding
school dibangun dengan secara sekaligus memiliki banyak gedung, bahkan sebagian
gedungnya pun mewah-mewah, fasilitas pun lengkap
2.
Ditinjau dari pendiri
Pesantren biasanya didirikan oleh
perorangan, bahkan langsung oleh sang kyainya, atau keluarga besar kyainya atau
dengan beberpa temannya dengan idealismenya. Sedangkan boarding school biasanya
dibangun oleh suatu lembaga, baik berupa lembaga charity, yayasan, pemerintah
atau beberapa pengusaha atau investor
3.
Ditinjau dari pimpinannya
Pesantren biasanya dipimpin oleh
seorang kyai yang gelarnya secara alami diperoleh karena kepercayaan dari
masyarakat. Sedangkan boarding school dipimpin oleh seseorang yang diangkat
oleh lembaga, yayasan, sekumpulan para pendiri atau para investor.
4.
Ditinjau dari kurikulum
Kurikulum pesantren biasanya berbasis
kitab-kitab kuning dan kitab berbahasa Arab. Kalau pun bermetafora dengan
sistem modern dengan mangadopsi kurikulum pemerintah, namun ciri khas kitab
berbahasa Arab tetap dominan, atau minimal sama dengan muatan kurikulum
pemerintah. Sedangkan boarding school lebih dominan menggunakan kurikulum
pemerintah. Bahkan sebagian boarding school lebih dominan kurikulum materi umum
dari pada materi agama.
5.
Ditinjau dari Orientasi Output
Pesantren biasanya berorientasi
melahirkan para ulama dan orang yang memberi pencerahan kepada umat, meskipun
kini output mereka banyak yang dapat melanjutkan di perguruan tinggi. Sedangkan
boarding school lebih berorientasi kepada output yang dapat bersaing di bidang
sains dan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi umum, namun mereka tetap
dibekali ilmu agama.
6.
Ditinjau dari biaya
Pesantren biasanya menerapkan spp/iuran
yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Akibatnya, fasilitas
penunjang pendidikan disediakan apa adanya, kecuali saat pesantren mendapat
sumbangan atau bantuan, barulah beberapa fasilitas dapat dilengkapi. Sedangkan
boarding school biasanya telah siap dengan berbagai fasilitas. Oleh sebab itu
ia diminati oleh orang-orang yang mampu meskipun dengan iuran atau spp yang
tinggi.
Ruhul Ma’had Antara Pesantren dan Boarding
School
Pesantren di Indonesia sedikitnya
mempunyai lima ciri khas yang kemudian disebut dengan Panca Jiwa Pesantren (Ruhul Ma’had), yaitu
keikhlasan (al-ikhlas), kesederhanaan (al-bisathoh), kemandirian (Al-i’timad ‘alan
Nafs), ketaatan (at-Tho’ah), dan persaudaraan (ukhuwah). Lima ruhul ma’had
(panca jiwa pesantren) inilah yang menghiasi seluruh komunitas dalam pesantren,
mulai dari kyai, guru hingga para santrinya.
1. Al-Ikhlas
(Keikhlasan)
Seluruh proses
pendidikan di lingkungan pesantren harus dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Karena keikhlasan adalah energi dalam melakukan sebuah amal. Oleh sebab itu,
meski dengan fasilitas yang sederhana, namun proses pendidikan di pesantren
dilaksanakan dengan penuh semangat, karena dilandasi dengan keikhlasan.
Keikhlasan juga menjadi
barometer berkahnya ilmu yang diajarkan kepada para santri. “Berkah” adalah
kebaikan yang terus bertambah. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang terus
mendatangkan kebaikan kepada penuntutnya. Oleh sebab itu, perubahan sikkap yang
terjadi pada diri santri saat sebelum menyantren dan setelah menyantren
sehingga terus membaik adalah buah dari keikhlasan. Oleh sebab itu pula,
mengapa antara santri dan pelajar di luar berbeda outputnya dalam sikap dan
akhlak? Mungkin karena jiwa keikhlasan itu menjadi jiwa keseharian.
Hampir seluruh
pesantren dan boarding school pasti memiliki jiwa keikhlasan. Hanya saja
mungkin kadarnya berbeda-beda. Keikhlasan suatu pesantren atau boarding school dapat
diukur dari orientasinya. Apakah orientasi hanya dunia? Atau akhirat?...Ada
sebagian pesantren dibangun dari dana investor dengan perjanjian deviden
tertentu bagi investornya. Jika hal ini tidak diniatkan untuk investasi
akhirat, maka boleh jadi akan mengurangi rasa keikhlasan kecuali dibarengi
dengan muhasabah (evaluasi diri) dan riyadhoh al-nafs (olah jiwa).
2. Al-Bisathoh
(Kederhanaa)
Kesederhanaan harus
menjadi ciri utama pesantren. Kesederhanaan bukan berarti kurangnya fasilitas.
Akan tetapi para santri diajarkan hidup sederhana, dan kyai serta para guru
memberikan contoh hidup sederhana. Sederhana dalam sikap, dalam berpakaian,
dalam kebutuhan. Uang saku tidak boleh melebihi batas kecukupan, karena
berlebihan dalam uang saku akan mendidik anak hidup glamor dan hedonis.
Disipilin kesederhanaan ini akan menghilangkan gap antara santri kaya dan
santri kurang mampu. Ada santri dalam sebuah pesantren minta berhenti kepada orang
tuanya, karena santri itu tahu diri, bahwa ayahnya adalah dari kalangan
menengah ke bawah, sedangkan teman-temannya mempunyai orang tua dari kalangan
orang kaya. Dia melihat, jika teman-temannya berangkat ke sebuah mini market,
begitu banyaknya yang ia beli. Sehingga santri itu berkata kepada ayahnya, “Pak,
pesantren ini tidak pantas untuk kita, aku minta pindah saja.”
3. Al-I’timad ‘alan-Nafs
(Kemandirian)
Kemandirian jelas
sangat terlihat di kehidupan pesantren. Para santri hidup jauh dari orang
tuanya. Akan tetapi bukan hanya itu mendidik kemandirian. Para santri juga
diberi tugas membersihkan kamar, kelas dan asramanya dengan sendirinya. Membersihkan
piring dan meletakkannya pada tempatnya setelah digunakan. Bahkan membersihkan
sudut-sudut pesantren. Hal itu dilakukan setiap hari agar menjadi pembiasaan.
Sehingga kelak di kemudian hari mereka terbiasa melakukan aktifitas itu.
Pesantren bukanlah hotel atau motel yang kebersihan dan kerapian kamar, kelas,
kamar mandi, halaman harus dikerjakan oleh prtugas cleaning service. Para
santrilah yang menjadi cleaning-service. Beberapa pesantren atau boarding
school yang dengan spp atau iurannya tinggi menyajikan layanan kebersihan
dengan memperkerjakan petugas cleaning service, sehingga santri tidak mendapat
pendidikan kemandirian, terutama dalam mengurus kebutuhannya sendiri. Bahkan
pada pesantren tradisional, para santri dituntut untuk masak sendiri, mencuci
dan menyetrika baju sendiri bahkan mencari rezeki sendiri untuk menghidupi
dirinya sendiri. Meski beberapa item ini sudah dihilangkan akibat sistem
pesantren modern, namun pembiasaan kemandirian tidak boleh dihilangkan sama
sekali.
Santri yang dibiasakan
setiap harinya dengan aktifitas peduli pada lingkungannya, akan terlihat saat mereka
liburan di rumahnya. Mereka tidak manja dan selalu membantu orang tuanya dalam
membersihkan rumah dan lingkungannya. Kemandirian berekenomi juga perlu
diajarkan kepada santri, baik dengan magang di koperasi atau berjualan di
lingkungan pesantren tanpa harus menganggu pelajaran.
4. At-Tho’ah (ketaatan),
Sikap patuh santri pada
guru dan kyai harus menjadi ciri utama sebuah pesantren. Kepatuhan akan hadir
jika kyai dan guru memberikan keteladanan kepada para santri. Sebab ketataatan
itu akan timbul jika adanya tsiqoh (trust) kepada yang orang yang ditaati. Dan
tsiqoh (trust) akan lahir jika kita memberikan keteladanan (uswah). Sebagai
contoh, jika santrinya diwajibkan shalat berjamaah, maka kyai dan semua gurunya
melaksanakan shalat berjamaah. Sedangkan pelajaran atau kitab tentang akhlak
murid kepada gurunya hanyalah penguat saja timbulnya ketaatan murid kepada
gurunya. Faktor utamanya adalah keteladanan. Selain itu, para santri pun perlu
diajarkan tentang pentingnya ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Sehingga mereka
tidak menyikapi para guru seperti orang gajian yang digaji oleh orang tua
mereka. Akibatnya sikap hormat mereka kepada guru menjadi kurang. Di samping
itu, guru pun jangan bersikap pilih kasih terhadap anak didiknya, apalagi hanya
memperhatikan anak orang kaya saja. Hal ini akan menimbulkan sikap kurang
penghormatan, baik dari si anak tersebut maupun anak-anak lainnya.
5. Ukhuwah (persaudaraan)
Suasana persaudaraan
nampak dalam kehidupan santri. Mereka tidur bersama, makan bersama, belajar
bersama, membersihkan tempat bersama. Bahkan mereka menganggap kyai dan guru
seperti orang tua mereka sendiri. Tahapan ukhuwah sudah terbentuk dengan
sendirinya, mulai dari taaruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami),
taawun (saling tolong menolong) dan takaful (saling sepenanggungan) serta
talahum (seperti sedarah sedaging). Sikap ini diharapkan akan menjadi karakter
mereka selamanya. Bukan hanya pada saat di pesantren saja, namun juga ketika
mereka sudah terjun di masyarakat.
Penutup
Baik pesantren maupun
boarding school, jika kita setuju membedakan keduanya, keduanya mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Alangkah baiknya jika pesantren dapat melengkapi dengan sesuatu
yang positif yang terdapat pada boarding school. Demikian juga boarding shool
melengkapi dengan sesuatu yang positif yang terdapat pada pesantren. Jika titik
ini bertemu, maka Pesantren adalah Boarding School, dan Boarding School adalah
Pesantren. Wallahu a’lam.
Rumpin, 18 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar