Kemerdekaan Ekonomi vs Prinsip Ekonomi Syariah

Oleh: Any Setianingrum MESy

66 tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup untuk meraih kesuksesan ekonomi sebuah negara. Malaysia, negara Islam modern dan dinamis, yang usia kemerdekaannya lebih muda 12 tahun dari Indonesia telah mencanangkan menjadi negara maju pada tahun 2020. Rasulullah SAW beserta sahabatnya dalam waktu singkat sukses merubah perekonomian kota Madinah menjadi perekonomian yang penuh keadilan dan sejahtera. Bagaimana wajah 66 tahun kemerdekaan ekonomi Indonesia?

Tahun 2011 penguasaan/kepemilikan asing kurang lebih pada sektor pertambangan mencapai 75%, sektor perbankan 47,02%, industri telekomunikasi 24-95%. Fakta lain yang sungguh ironis adalah, ada sebuah perusahaan asal Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit di Indonesia, sementara luas negara Singapura sendiri kurang dari 70 ribu hektar (Sumber Kompas, 25 Mei 2011). Kebutuhan pokok pangan seperti beras, kedelai, gula, daging sapi garam masih pula diperoleh dengan cara mengimpor. Cicilan hutang pokok plus bunga yang dibayar dalam 6 tahun terakhir adalah 877,633 triliun (SD-IGJ, 2010), lebih besar dari APBN 2007 dan melebihi seluruh pendapatan dari pajak setahun.

Biaya, waktu dan energi untuk merintis mengurangi ketergantungan pada asing, serta resistensi dari sebagian kecil pihak yang diuntungkan dari kegiatan impor/kepemilikan asing, tentulah tidak seberapa besar dibanding dengan manfaat dan keberkahan yang diperoleh dalam jangka panjang jika pemenuhan kebutuhan tersebut bisa diproduksi sendiri. Produk-produk/kepemilikan lokal selain akan memberi efek penciptaan lapangan kerja bagi 8,12 juta orang pengangguran (BPS, 2011), juga memberikan manfaat lain bagi kedaulatan dan martabat bangsa. Adapun adanya kenyataan lebih murah, lebih praktis dan lebih mudah pada produk impor/kepemilikan asing janganlah mengecoh Indonesia untuk terus bertahan menjadi sasaran empuk produk/kepemilikan asing, sebab hal itu tidak akan berhasil memenuhi substansi kebutuhan sebuah negara berdaulat.

Negara akan mudah terjebak dalam berbagai musibah ekonomi jika produk/kepemilikan asing telah mendominasi. Diantara musibah ekonomi adalah melemahnya basis-basis produksi dan produktifitas sektor riil sehingga pembangunan ekonomi memiliki kualitas yang rendah karena mengandalkan sektor konsumsi yang sebagian besar merupakan produk asing. Musibah serius lainnya adalah besarnya kerusakan lingkungan, bagaimanapun pihak asing yang menguasai hutan dan perkebunan Indonesia tidak akan sepenuhnya memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan negara lain, apalagi memikirkan kepentingan generasi penerus negara orang. Musibah memilukan lainnya adalah beban berat yang harus dipikul jutaan warung-warung kecil dan para pedagang di pasar-pasar tradisional di seluruh pelosok tanah air akibat menjamurnya hypermarket dan supermarket yang mayoritas di dalamnya terdapat kepemilikan asing.

Akibat lilitan utang, Indonesia menjadi sangat mudah jatuh dalam tekanan asing, khususnya dalam penyusunan UU dan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Melalui UU dan kebijakan yang telah tertawan itulah intervensi asing sangat mudah masuk.

Sistem ekonomi neoliberalis yang mengedepankan perdagangan bebas, spekulasi valas, pasar dan komoditas serta privatisasi layanan masyarakat memberikan kontribusi besar kepada wajah perekonomian Indonesia dan dunia hingga menjadi seperti saat ini. Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 Krisis ekonomi di negara-negara kapitalisme dan para pengikut setianya (Davies, 1996).

Berikut ini akan diuraikan secara singkat, pengaturan perekonomian negara dalam perspektif prinsip ekonomi syariah yang bisa menjadi hikmah. Indikator kesuksesan perekonomian sebuah negara dalam Islam tidak hanya ditentukan oleh pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik saja, namun juga ditentukan oleh ada/tidaknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat, dan keadaan keimanan penduduknya yang tercermin pada keadaan moral, etika dan performa sektor sosial atau ketaatan penduduk dalam membayar ZIS.

Kebijakan dasar perekonomian negara adalah melalui mekanisme zakat dan pelarangan riba. Dalam perspektif Islam, jika semua kegiatan usaha dipaksa mengikuti laju suku bunga maka akan terjadi ekploitasi peserta ekonomi yang lemah oleh peserta yang lebih kuat yang akan menyuburkan spekulasi, inflasi dan menumpuknya harta pada sekelompok orang. Karena itulah sistem ekonomi negara harus selalu mengintegrasikan sektor moneter dengan sektor riil sebagai konsekuensi dilarangnya riba, gharar (ketidakjelasan) dan spekulasi.

Kebijakan pemerintah secara umum dalam perekonomian Islam adalah mengoptimalisasi sektor sosial dan institusi penunjang pasar. Perekonomian Islam sangat mendukung kegiatan bisnis/perdagangan, mengedepankan produktivitas dalam pertumbuhan sektor riil yang berbasis halal-haram dan manfaat-mudarat dengan basis transaksi jual beli, sewa menyewa dan bagi hasil. Optimalisasi institusi pasar akan menghidupkan basis-basis produksi, meningkatkan produktifitas, menekan inflasi, membuka lapangan kerja, menekan kemiskinan dan menjadikan produk asing hanya sebagai mitra/pelengkap saja. Optimalisasi sektor sosial akan memberikan rasa tentram dan aman kepada rakyat.

Terkait sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam sebuah negara, Rasulullah Saw bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR Ibnu Majah). Jadi penguasaan sumber daya alam oleh kelompok saja tidak diperbolehkan apalagi oleh kelompok asing yang manfaat terbesarnya tidak jatuh ke tangan rakyat.

Dengan mekanisme yang konsisten tersebut selama pemerintahan Islam berjaya tidak ditemukan adanya krisis ekonomi yang serius dan terjadi berulang. Prinsip ekonomi Islam terbukti pula sangat mendukung nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia terkait penegakkan nilai amanah untuk mengoptimalkan terlebih dulu segala sumber daya terdekat yang telah dikaruniakan Allah Swt. Adam Smith (1776), yang dianggap sebagai bapaknya ekonomi kapitalis, menganggap bahwa contoh terbaik masyarakat berperadaban tinggi yang kuat secara ekonomi dan politik adalah masyarakat Arab (Madinah) di bawah pimpinan Muhammad.

Para pendiri bangsa ini mungkin tidak pernah menduga di usia 66 tahun kemerdekaan, Indonesia belum sepenuhnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam bidang ekonomi, jumlah orang miskin mencapai 30,02 juta orang (BPS, Maret, 2011) dan maraknya kasus KKN dan kiriminalitas. Namun tak ada kata terlambat, Rasulullah SAW, para sahabat dan masyarakat Madinah telah memberi inspirasi yang gemilang. Mereka berhasil membenahi perekonomian Madinah yang telah ratusan tahun dikuasai riba, ketidakadilan dan carut marutnya perilaku masyarakat menjadi kota dengan peradaban tinggi yang diakui dunia sepanjang masa.

Penulis adalah akademisi dan pemerhati ekonomi syariah (sumber: Republika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar